Friday, April 11, 2014

Jabal Magnet di Madinah, Ilusi atau Fenomena Nyata?

Jabal Magnet (Jabal Baido) di Madinah

Jabal Magnet dan Nama Lainnya

Jabal Magnet konon adalah nama yang diberikan oleh peziarah asal Indonesia pada sebuah pegunungan di sebelah barat laut Kota Madinah. Situs ini sangat terkenal di kalangan jamaah haji Indonesia. Jangan heran jika pada musim haji, di sana mayoritas pengunjungnya adalah orang Indonesia. Penduduk Kota Madinah dan kota-kota sekitarnya lebih sering menyebut wilayah tersebut sebagai Wadi El Baida (Lembah Putih) atau Jabal Baiduk (Bukit Putih) atau Jabal Baido atau Mantiqotul Baido (Tanah Putih). Penduduk Kota Madinah dan sekitarnya lebih memanfaatkan taman rekreasi berupa tanah lapang di lembah di kaki Jabal Magnet tersebut untuk acara camping dan piknik keluarga pada akhir pekan. Mereka biasanya mendirikan tenda-tenda, membawa peralatan memanggang untuk mengadakan acara barbekyu di sana pada malam hari. Ada pula nama lain dari Wadi El Baida ini, yaitu Wadi Al Jinn atau Lembah Jin. Wah jadi takut nih mendengarnya. Sebenarnya ada apa di sana?

Kabarnya (entah benar atau tidak), Jabal Magnet sekarang ditutup untuk rombongan besar. Ini dilakukan pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk mencegah kemusryikan. Soalnya, beragam pendapat tentang fenomena yang ada di Jabal Magnet ini dapat mengarahkan para peziarah ke arah sana (syirik). Bersama 10 orang teman serombongan kami berinisiatif mengunjungi tempat tersebut sebagai salah satu pilihan rekreasi di Kota Madinah pada akhir Desember 2013 lalu saat hari-hari terakhir berada Kota Madinah. Ini memang bukan situs yang wajib dikunjungi sebagaimana Masjid Quba, Masjid Ijabah, Masjid Qiblatain, dan Jabal Uhud yang sudah saya paparkan pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Minibus Carteran Ke Jabal Magnet dan Abuyya

Cerita tentang keunikan Jabal Magnet sudah lama saya dengar, bahkan saya pernah menonton ulasannya di televisi. Jam 8 pagi waktu setempat, kami mencoba mencarter sebuah mini bus dengan seorang sopir Arab Baduy, yang kemudian kami panggil Abuyya (Bapak). Sopir minibus itu usianya memang sudah cukup tua. Mungkin sudah punya beberapa orang cucu di rumahnya. Setelah tawar-menawar singkat di depan hotel tempat kami menginap, kami mendapatkan harga 300 riyal untuk perjalanan ke Jabal Magnet plus singgah sejenak di King Fahd Holly Qur’an Printing Complex (Kompleks Percetakan Al Qur’an Raja Fahd). Kalau dibagi rata, masing-masing kami harus membayar 30 riyal untuk ongkos perjalanan rekreasi yang ditaksir Abuyya akan memakan waktu selama lebih kurang 4 jam itu. Minibus berwarna putih seperti yang kami carter memang banyak ngetem di depan-depan hotel di sekitar Masjid Nabawi. Akan mudah sekali mengenali minibus-minibus carteran ini, karena sopir-sopirnya akan berteriak-teriak menawarkan jasa kepada para peziarah yang berlalu lalang dengan kata-kata: “Ziaraa.... ! Ziaraaa!!!” Untuk menggunakan jasa mereka, kita musti pandai-pandai menawar. Sebaiknya sebelum mencarter mereka tanyakan dulu kepada orang-orang yang mungkin tahu berapa tarif yang pantas untuk situs atau tempat yang ingin dituju. Jangan lupa, katakan anda mencarter untuk tarif pp (pergi-pulang).

Abuyya sangat ramah. Sepanjang perjalanan ia menunjukkan tempat-tempat tertentu yang sekiranya cukup menarik buat peziarah macam rombongan kami. Untungnya salah satu dari kami pandai berbahasa Arab sehingga memudahkan komunikasi dengan beliau. Seperti kebanyakan warga Kota Madinah, lelaki yang janggutnya sudah dominan berwarna putih itu mengenakan sorban merah dan gamis warna putih. Minibusnya cukup bersih dan nyaman, sehingga walaupun agak berdesak-desakan, kami cukup menikmati perjalanan.

Kompleks Percetakan Al Qur’an Raja Fahd

Kami sampai di Kompleks Percetakan Al Qur’an Raja Fahd. Percetakan Al Qur’an ini adalah percetakan Al Qur’an terbesar di dunia. Di sini di cetak Al Qur’an dan terjemahannya dalam berbagai bahasa. Bayangkan bagaimana kapasitasnya, karena percetakan ini mampu memproduksi 10 juta kopi Al Qur’an setiap tahunnya. Satu hal yang unik adalah jika anda perempuan, maka anda tidak akan diperkenankan masuk ke dalam percetakan tersebut. Tidak ada satupun dari kami yang tahu mengapa perempuan tidak diperbolehkan masuk. Kami hanya duduk-duduk di depan pagar di dekat lapak seorang penjual cindera mata di dekat parkiran mobil para pegawai percetakan. Sementara para peziarah pria diperbolehkan melihat-lihat proses pencetakan kitab suci umat islam ini, walaupun tentu dalam lingkup yang amat terbatas juga. Oleh karena itu, dengan sabar kami (para perempuan) menunggu para rombongan pria keluar dari percetakan. Olala, mereka tampak gembira ketika keluar pagar kompleks percetakan itu karena masing-masing diberi hadiah sebuah mushaf Al Qur’an. Mereka tampak sumringah memegang kitab bersampul warna biru malam, persis seperti kitab-kitab Al Qur’an yang diletakkan di dalam masjid-masjid di Kota Mekkah dan Madinah.
percetakan al qur'an di madinah
Al Qur'an Hasil Cetakan King Fahd Holly Qur'an Printing (Koleksi Pribadi)


Menurut mereka (para pria), masing-masing pengunjung diminta membubuhkan nama, asal negara, dan tanda tangan di sebuah buku tamu, lalu mereka bebas mengamati bagaimana para pekerja melaksanakan tugasnya mencetak Al Qur’an di lantai dasar dari sebuah balkon yang lebarnya sekitar 4 meter yang memanjang di lantai dua. Mereka harus mengikuti alur tur yang telah diberi tanda-tanda berupa anak panah mengenai arah yang harus mereka lalui. Ketika puas melihat bagaimana pencetakan Al Qur’an dilakukan, mereka menuju koridor sempit selebar lebih kurang 3 meter untuk kemudian keluar menuju meja Humas Percetakan yang kemudian memberi mereka masing-masing satu kitab suci. Ukuran kitab suci diberikan sesuai umur. Apabila anda berumur di atas 60 tahun maka anda akan memperoleh mushaf berukuran besar. Jika anda lebih muda, maka anda akan menerima mushaf ukuran standar.

Istana Raja Fahd di Madinah

Dalam perjalanan menuju Jabal Magnet, Abuyya menunjuk sekumpulan bangunan berwarna putih di atas sebuah gunung yang cukup tinggi. Kami dapat memandang bangunan itu dari jendela minibus. Bentuknya serupa kotak-kotak berwarna putih keabu-abuan, senada dengan warna tanah dan bebatuan di sekitarnya. “Istana Raja Fahd”, kata teman yang fasih berbahasa Arab setelah menerjemahkan kata-kata Abuyaa. Saya sendiri melongo membayangkan bagaimana kira-kira kemegahan bagian dalam istana itu bila dilihat dari dekat, karena dari kejauhan tampak biasa saja kecuali ukurannya yang cukup besar. Mungkin karena mendengar bangunan itu adalah istana Raja Fahd, barulah saya awas kalau ternyata terdapat jalan berpagar tampak melingkar dipahat di pinggang gunung batu itu. Secara utuh, gunung dan komplek bangunan itu kelihatan kering dan gersang sekali, walaupun di samping-samping bangunan istana yang berbentuk kotak-kotak itu menyembul pucuk-pucuk pepohonan.
Istana Raja Fahd di Madinah (Koleksi Pribadi)


Kebun Kurma di Sepanjang Jalan Menuju Jabal Magnet

Beberapa saat kemudian kami sudah mulai memasuki jalan yang agak naik-turun dan sepi dari lalu lintas kendaraan. Kami sudah menuju Jabal Magnet. Di kanan kiri jalan kini mulai tampak kebun-kebun kurma yang menghijau. Helaian-helaian daun dan pelepahnya berkesiur ditiup angin. Saya kira sebagaimana taman-taman di pusat  kota, pohon-pohon kurma itu memperoleh pasokan air dari pipa-pipa yang dipasang di sekeliling batangnya. Waktu itu cuaca cukup dingin-sejuk. Entahlah, mungkin suhunya berkisar 15 derajar celcius.

Jalanan yang beraspal mulus dan lebar itu benar-benar sepi. Mungkin benar kabar kalau Jabal Magnet ditutup untuk umum. Dalam hati, saya sudah siap-siap kecewa seandainya rombongan kami harus pulang sebelum mencapai tujuan. Kami hanya berpapasan dengan satu atau dua mobil, dan sebuah mobil tangki pengangkut air. Menurut Abuyya, mobil itu memasok air bagi warga berada di wilayah yang belum ada jaringan pipa airnya. Sesekali kali kami melewati wilayah yang kosong sama sekali. Hanya beberapa gerumbul tumbuhan semak tumbuh di tanah berpasir dan berbatu, dilatarbelakangi gunung-gunung dan perbukitan yang hampir seluruhnya terdiri dari batu-batu keras berwarna coklat keabu-abuan. Beberapa saat kemudian, kebun kurma kembali tampak di kanan kiri jalan.

Di saat minibus berada di jalan yang sangat lurus, Abuyya mulai menunjuk-nunjuk pada speedometer minibus yang disupirnya. Kecepatan mobil itu hanya sekitar 25 km per jam (mungkin-saya tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan kawan-kawan yang begitu berisik, apalagi saya duduk agak di belakang). Menurut Abuyya ia telah menjejak gas hingga dalam, tetapi minibus tidak dapat melaju dan terkesan terengah-engah menuruni jalan. Aha... inilah fenomena Jabal Magnet yang terkenal itu! Saat jalan agak turun, mobil justru seperti kehabisan tenaga untuk melaju.

Kemudian mobil seperti kembali ke kemampuan normalnya. Beberapa saat kemudian, Abuyya menghentikan mobil tepat di dekat sebuah bundaran jalan. Sepertinya ini adalah ujung jalan menuju Jabal Magnet. Benar saja, kami sudah tiba di Jabal Magnet. Tidak ada penjagaan (tidak ada polisi atau askar di tempat ini). Awalnya saya pikir, seperti di Indonesia kita harus masuk melalui pintu gerbang yang dijaga pegawainya untuk menarik karcis tanda masuk (halah... ini kan Arab Saudi, beda dong). Ternyata tidak ada gerbang masuk wilayah wisata ini, juga tidak ada retribusi karcis masuk. Kami turun dan keluar dari mobil. Abuyya menunjuk ke sebuah bukit dengan bentuk unik yang berdiri tepat di hadapan kami. Sebuah gunung (atau tepatnya bukit) dari batu-batu dengan formasi miring ke suatu arah tertentu. Itulah yang disebut sebagai Jabal Magnet. Kami berfoto-foto sesaat sambil memandang ke sekeliling alam. Wilayah ini dipagari oleh pegunungan dan bukit-bukit batu. Saya melihat dua orang petugas kebersihan. Abuyya menyalami mereka. Kami memberikan beberapa riyal pada keduanya, sementara kawan-kawan pria dalam rombongan kami menyodorkan rokok setelah mendengar bahwa gaji mereka sangat kecil (1.500 riyal per bulan). Jaket, sorban, dan celana mereka tampak lusuh dan kotor, tapi keramahan tetap terpancar dari wajah kedua pria berkebangsaan India itu.
Jabal Magnet, Mungkinkah Struktur Bebatuan Penyusunnya yang Unik dan Keadaan Lingkungan Sekitarnya Telah Menimbulkan Ilusi pada Para Peziarah? (Credit: Nuraishah Bazilah Affandi)


Karena suhu udara di sini lebih dingin (saya sampai menggosok-gosokkan telapak tangan untuk menghangatkannya), sesaat kemudian kami sudah duduk di dalam minibus. “Waktunya kembali ke Kota Madinah”, kata Abuyya. Saat perjalanan pulang ini, Abuyya sempat mematikan mesin dan menetralkan gigi (gear) minibusnya untuk menunjukkan bahwa minibus dapat melaju kencang hingga mencapai kecepatan 120 kilometer per jam di jalan lurus di tempat mana tadi sebelumnya mobil sempat terengah-engah. Lagi...! Inilah fenomena kebalikan kejadian sebelumnya dari Jabal Magnet. Minibus seperti didorong oleh kekuatan gaib—jin?  Konon inilah sebabnya lembah di sekitar Jabal Magnet ini juga disebut sebagai Wadi El Jinn, karena beberapa orang percaya bahwa di tempat ini adalah tempat tinggal para jin. Para jin mendorong mobil menjauhi Jabal Magnet, padahal jalan tampak seakan-akan agak menanjak.
Sisi Lain Jabal Magnet di Madinah, Mobil Melaju Karena Didorong oleh Jin? (Koleksi Pribadi)


Saat ini telah ada penjelasan ilmiah tentang fenomena ini. Ternyata di Jabal Magnet, para pengunjung mengalami ilusi optik karena saat berada di sana kita tidak bisa melihat horison (kaki langit). Wilayah di sekitar Jabal Magnet dikelilingi oleh pegunungan yang tinggi. Kemudian, ditambah lagi dengan bentuk-bentuk tumbuhan perdu serta formasi bebatuan yang mungkin dapat mengaburkan ketajaman indra keseimbangan dan penglihatan kita sehingga menimbulkan kesan terbalik: jalan yang menurun tampak seperti menanjak dan sebaliknya jalan yang menanjak tampak seperti menurun. Kabarnya, pengukuran dengan peralatan canggih macam GPS telah membuktikan bahwa memang terjadi ilusi di sini sebagaimana di tempat-tempat lain di berbagai belahan dunia. (Menurut wikipedia, fenomena yang terjadi di Jabal Magnet ini juga ada di banyak negara lainnya, termasuk Indonesia. Lihat artikelnya di sini). Saya lebih mempercayai pendapat ini karena jarum jam atau peralatan elektronik sama sekali tidak terpengaruh oleh medan magnet (jika memang ada).
 
Kami meninggalkan Jabal Magnet yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari pusat kota Madinah dan 40 kilometer dari Kota Tabuk itu. Fenomena Jabal Magnet memang unik. Semuanya merupakan bukti kebesaran Allah SWT kepada hamba yang mau memahaminya. Perlu waktu sekitar 30 menit perjalan untuk tiba kembali ke hotel di Madinah. Hampir adzan Dzuhur ketika kami tiba di depan pintu hotel dan membuat kami bergegas mengambil air wudhu untuk menuju Masjid Nabawi bersama-sama para peziarah lainnya.

2 comments:

  1. Melihat artikel dan photo-photonya membuat saya penasaran ingin ke sana Mba, tapi kapan ya ? he,, he,, he,,,

    Salam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga sudah kepengen berangkat UMRAH,. Masih berusaha keras untuk mewujudkannya. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kami sekeluarga dan hamba hamba MU semuanya untuk datang ke rumah MU ya Allah SWT. Aminnnnnnnnnnnnnnnnnnn

      Delete